Saya hari ini melewati sebuah deretan ruko yang dicat warna-warni layaknya warna pelangi. Kini setiap saya melihat warna yang bermacam-macam yang teraplikasikan pada apapun saya teringat tentang apa yang saya baca kemarin pagi sepulang dari gereja di salah satu fanpage radio online Kristen di Amerika Serikat, yang merilis berita mengenai keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk melegalkan pernikahan sesama jenis secara nasional dan mencabut regulasi di 14 negara bagian yang melarang pernikahan sesama jenis. Lalu, apa hubungannya warna-warni pelangi dengan pernikahan sesama jenis?
Lambang warna-warni seperti pelangi ini sebenarnya digunakan oleh beberapa gerakan seperti gerakan perdamaian, kebebasan, kemerdekaan, bahkan sempat menjadi representasi dari agama Buddha. Namun, sekarang yang sedang kita bicarakan di sini adalah warna-warni sebagai lambang dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender atau yang biasa disingkat (LGBT). Tahun 1978, Gilbert Baker, seorang seniman dari San Fransisco, Amerika Serikat mempopulerkan simbol ini sebagai bendera kebebasan. Semenjak saat itu, ‘the freedom flag’ ini menjadi lambang eksistensi kaum gay dan selalu hadir dalam acara-acara kaum gay, yang biasa disebut gay pride – yang menunjukkan secara bebas dan terbuka homoseksualitas di jalanan Amerika Serikat. Tak hanya itu, lambang ini kemudian menjadi lambang yang diaplikasikan pada bendera, pakaian, dan perhiasan di seluruh dunia sebagai representasi komunitas gay.
Kembali mengenai keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tadi, melalui keputusan yang sangat bersejarah yang dibuat pada tanggal 26 Juni 2015 ini Amerika Serikat dicatat CNN sebagai negara ke-21 yang melegalkan pernikahan sesama jenis secara nasional. Sudah kita ketahui bersama bahwa Amerika Serikat merupakan negara liberal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan regulasi ini disahkan sebagai dukungan terhadap dijunjungnya hak asasi manusia itu. Reuters menulis bahwa melalui sebuah survey terkemuka bahwa 57% warga Amerika Serikat mendukung disahkannya peraturan yang mendukung pernikahan sesama jenis ini. Keputusan ini dianggap sebagai bagian dari sejarah baru bagi Amerika Serikat bagi separuh lebih warga yang mendukungnya, termasuk sang presiden, Barrack Obama. Melalui Twitternya, Obama menulis pada 26 Juni 2015 bahwa hari itu merupakan hari di mana Amerika Serikat telah mengambil langkah besar di dalam perjuangan mencapai kesetaraan. Hillary Clinton juga menulis di Facebook-nya, bahwa ia bangga dapat merayakan kemenangan bersejarah dalam kebebasan hak asasi manusia itu. Bahkan, akun Twitter White House – yang menjadi representasi kuat dari pemerintahan Amerika Serikat memajang gambar profil warna pelangi.
Jadi, 26 Juni 2015 akan menjadi tanggal bersejarah yang akan diperingati sebagai salah satu waktu dijunjungnya hak asasi manusia di Amerika Serikat di masa-masa yang akan datang. Namun, sebelumnya pernah ada satu waktu yang telah diingat sebagai tanggal bersejarah di mana hak asasi manusia yang lebih mendasar pernah dijunjung. Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat memperjuangkan dan berhasil menghapus perbudakan di Amerika Serikat. Seorang presiden yang takut akan Tuhan ini menyadari betul peran Tuhan di dalam setiap kejadian yang terjadi dan selalu berusaha melakukan kehendak Tuhan bagi negara yang ia pimpin. Lincoln pernah berkata ‘yang menjadi tujuan saya adalah bukan agar Tuhan berada di pihak saya, tetapi agar saya berada di pihak Tuhan, karena Tuhan selalu benar’. Ia tahu bahwa keputusan dan perjuangan bagi negaranya bukanlah sebuah keinginan pribadinya yang ia ingin dibenarkan Tuhan, tapi ia ingin mau tahu apa kehendak Tuhan dan bersama Tuhan menjadi alatNya untuk mengimplementasikannya di negara yang ia pimpin, karena ia yakin dengan itu keputusannya tidak akan salah, karena ia tahu Tuhan selalu benar. Saya rasa, momen inilah yang seharusnya tetap diperingati sebagai hari di mana hak asasi manusia dijunjung tinggi, kebebasan hak asasi untuk hidup tanpa kekangan manusia lain yang benar di hadapan Tuhan, bukan 26 Juni lalu yang merupakan suatu kehormatan kepada hak asasi manusia yang melampaui perintah Tuhan.
Mungkin sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat ini merupakan sesuatu yang penting untuk saya tulis? Bukankah Amerika Serikat berjarak 14 jam penerbangan dari Indonesia? Apa hubungannya dengan kita? Mengapa membahas Amerika Serikat yang menjadi negara ke-21 yang melegalkan pernikahan sesama jenis ini dan tidak membahas 20 negara sebelumnya yang telah melegalkannya lebih dulu? Bagaimanapun juga, Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang menjadi trend setter, apa yang terjadi di sana berpengaruh terhadap dunia, dan Amerika Serikat seringkali menjadi acuan untuk beberapa hal, meskipun tidak sekuat beberapa waktu yang lalu, tapi bisa saja regulasi ini memicu pelegalan sejenis di bagian dunia lainnya. Melalui regulasi ini berarti kini warga Amerika Serikat memiliki pilihan untuk menikah dengan lawan jenis atau sesama jenis, dan itu wajar dan benar di hadapan hukum. Satu hal yang juga kita perlu ingat, Amerika Serikat adalah negara Kristen terbesar di dunia, yang seharusnya menjadi yang terdepan dalam mengusahakan kebenaran Kristen itu menjadi bagian dari regulasinya. Selain itu, bisa kita bayangkan bagaimana usaha gereja-gereja dan hamba Tuhan di Amerika Serikat yang taat kepada kebenaran firman Tuhan untuk tetap memegang kebenaran, dan resiko mereka untuk dikucilkan sebagai orang-orang yang dianggap tidak membela hak asasi manusia ketika mereka menolak memberkati pernikahan sesama jenis.
Pembahasan mengenai legaliasi pernikahan sesama jenis dalam ranah Alkitab mungkin lebih sering membicarakan mengenai kehendak Tuhan atas dibangunnya pernikahan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun, dalam hal ini, saya melihat adanya semacam pengingkaran janji antara manusia dengan Allah, di mana manusia melanggarnya dan menganggap perjanjian itu tidak berlaku lagi, bahkan melupakannya, dan menggantinya dengan makna lain, tetapi bagi Allah, perjanjian itu tetap berlaku. Anda ingat apa makna pelangi sesungguhnya? Anda ingat Nuh, bahtera, dan malapetaka air bah? Anda ingat Kejadian pasal 8-9? Anda percaya bahwa bagian itu bukan dongeng tapi kisah nyata? Jika Anda ingat dan tahu peristiwa Nuh dan pelangi, Anda pasti juga mengingat Kejadian 9:11-17 (terjemahan FAYH) di mana Allah berkata :
“Aku berjanji kepadamu dan keturunanmu, dan semua hewan yang kaubawa serta – yaitu segala burung, ternak, dan binatang liar – bahwa Aku tidak lagi akan mendatangkan banjir untuk membinasakan bumi. Dan inilah tanda untuk memeteraikan janji-Ku : Aku telah menaruh pelangi-Ku di awan-awan sebagai tanda perjanjianku dengan engkau dan dengan segenap isi bumi sampai pada akhir zaman. Apabila Aku mendatangkan awan-awan di atas bumi, dan pelangi itu tampak di awan-awan, maka Aku akan ingat janji-Ku kepadamu dan kepada semua makhluk hidup bahwa tidak akan terjadi lagi banjir yang membinasakan semua kehidupan. Karena Aku akan melihat pelangi itu di awan-awan dan akan ingat janji-Ku yang kekal kepada semua makhluk di atas bumi.”
Pelangi merupakan sebuah tanda perjanjian yang diberikan Tuhan saat itu, sebuah tanda dari janji bahwa Tuhan tidak akan menghukum manusia lagi dengan cara mematikan seperti itu. Pelangi itu menjadi semacam kontrak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Mengapa Tuhan memberi janji yang menjadi wujud dari pengampunan akan kesalahan, bahwa kesalahan tidak akan lagi dihukum seperti saat itu? Karena Injil kemudian mencatat, Yesus turun ke dunia untuk menebus dosa manusia, dan bagi mereka yang percaya kepadaNya, tidak ada lagi hukuman kekal dan pengampunan itu bersifat penuh. Saya melihat bahwa pelangi yang sampai hari ini masih bisa kita lihat di langit itu sebagai lambang dari pengampunan dan damai sejahtera, jaminan bahwa Allah tidak akan menghukum saya akan dosa-dosa saya, karena janji yang Allah sampaikan kepada Nuh saat itu kekal dan ditujukan kepada semua makhluk di atas bumi, termasuk kita, hari ini. Pelangi itu menjadi lambang pengampunan atas kemaksiatan yang dilakukan manusia saat itu, yang tercatat di Kejadian pasal 6.
Namun, pelangi hari ini dirayakan lebih menjadi perayaan atas kemaksiatan zaman ini, lambang ini dilupakan sebagai pengampunan Tuhan atas manusia, dan digantikan dengan keinginan daging manusia yang tak terkendali yang maunya dibela hukum dan negara, bahkan gereja. Atau mungkin lambang bahwa Allah tidak akan lagi menghukum manusia itu diteruskan menjadi ‘kalau begitu berdosa lagi saja, karena Allah tidak akan membinasakan kita’. Seolah-olah bagi mereka, pelangi itu bukan lagi pengampunan yang mendorong ke arah usaha untuk hidup kudus, tapi sebuah kebebasan tanpa batas, bahwa apa maunya saya, saya harus didukung oleh hukum dan negara, bahkan Tuhan harus mendukung apa mau saya. Ini semacam pengingkaran janji, pembatalan janji, manusia menganggap dan mengartikan pelangi itu sudah dengan cara lain, berbeda dengan perjanjian yang dilakukan di zaman Nuh itu. Jika ini merupakan sebuah perjanjian di antara dua orang yang memiliki hak sama, maka sudah batal perjanjian ini karena salah satu pihak mengingkarinya. Namun yang terjadi di sini berbeda, perjanjian ini dilakukan oleh manusia yang bisa berubah dengan Allah yang tak pernah berubah. Perjanjian ini tidak bisa cacat karena manusia mengingkarinya, karena Allah berjanji kepada manusia dan keselamatan yang diberikan kepada manusia tidak tergantung dari apakah manusia itu masih memegang janji itu atau tidak, sehingga janji Allah tetap untuk selama-lamanya.
Pelangi itu hanyalah salah satu dari janji yang dilakukan Allah dengan tokoh-tokoh utama yang tercatat di Perjanjian Lama mulai dari Adam, Nuh, Abraham, Musa, dan lain sebagainya. Namun janji Allah dengan umat manusia terbesar terjadi pada Perjanjian Baru, perjanjian itu diperbaharui, Allah memberikan pengampunan secara total untuk selamanya, karena selama Perjanjian Lama sudah terbukti bahwa melalui cara apapun manusia tetap gagal hidup kudus, dan tidak mungkin dapat hidup kudus dengan dirinya sendiri. Perenungan bagi kita adalah, bahwa dalam momen kita menerima Kristus, kita berjanji bahwa kita tidak akan lagi berbuat dosa, namun apa jadinya? Kita masih bisa berbuat dosa, meskipun kini kita tidak menyukainya lagi. Perjanjian itu sebenarnya dianggap gagal jika kasih Allah tidak tetap, tapi kita tahu bahwa meskipun kita mengingkari janji kita untuk hidup kudus, janji Allah kepada kita untuk kita memiliki hidup kekal itu pasti dan tidak akan diingkari.
Saya yakin Anda bukan gay, dan Anda tidak menganggap pelangi yang adalah janji Tuhan itu sebagai lambang dari kebebasan hak asasi manusia bagi Anda. Tetapi, berapa banyak pengingkaran janji yang telah kita lakukan kepada Allah ketika kita melakukan dosa dan gagal hidup kudus di hadapan Tuhan? Ingatlah janji Tuhan bahwa kita hidup kekal itu sudah berjalan dan tidak akan pernah dicabut. Kalau begitu, apakah layak kita masih terus-terusan berbuat dosa? Terus-terusan mengingkari janji untuk tidak mengulang dosa itu lagi? Betapa memalukannya kita di hadapan Tuhan, ketika kita mengambil surat kontrak salinan milik kita itu dan merobek-robeknya? Tak puas hanya sekali, kita berdosa lagi dan merobek lagi robekan itu? Lalu berdosa dan merobek robekan dari robekan itu hingga pada akhirnya salinan perjanjian itu tak bisa lagi dibaca? Betapa seharusnya perjanjian itu tidak berlaku lagi karena kita sudah merusaknya menjadi robekan sangat kecil yang mustahil untuk dirangkai ulang? Tapi Allah di hadapan kita masih memegang dengan sangat rapi surat perjanjian satunya yang ada di pihakNya, Ia terus menunjukkan surat perjanjian itu kepada kita ketika kita memohon ampun atas dosa kita dalam doa kita, surat perjanjian yang abadi, jaminan hidup kekal, yang tak mungkin diingkariNya.
Saya tidak tahu, dan tentunya tidak dapat memastikan, dan bahkan menurut saya sebenarnya tidak ada hubungannya antara lambang pelangi yang digunakan kaum gay saat ini dengan lambang pelangi yang diberikan Tuhan saat itu. Tetapi ini menjadi pengingat bagi kita, lambang pelangi itu tetap berarti sama seperti apa yang Allah firmankan, dan bukan yang diingkari oleh manusia saat ini, dan jangan sampai kita terus-terusan mengingkari janji abadi itu, karena hidup kudus adalah perjuangan. Saya juga terus berjuang untuk hidup kudus bersama Tuhan, berusaha agar robekan itu tidak terlalu kecil untuk bisa saya baca dan ingat lagi.
-Apolos Anggara Sindhunata-
Lambang warna-warni seperti pelangi ini sebenarnya digunakan oleh beberapa gerakan seperti gerakan perdamaian, kebebasan, kemerdekaan, bahkan sempat menjadi representasi dari agama Buddha. Namun, sekarang yang sedang kita bicarakan di sini adalah warna-warni sebagai lambang dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender atau yang biasa disingkat (LGBT). Tahun 1978, Gilbert Baker, seorang seniman dari San Fransisco, Amerika Serikat mempopulerkan simbol ini sebagai bendera kebebasan. Semenjak saat itu, ‘the freedom flag’ ini menjadi lambang eksistensi kaum gay dan selalu hadir dalam acara-acara kaum gay, yang biasa disebut gay pride – yang menunjukkan secara bebas dan terbuka homoseksualitas di jalanan Amerika Serikat. Tak hanya itu, lambang ini kemudian menjadi lambang yang diaplikasikan pada bendera, pakaian, dan perhiasan di seluruh dunia sebagai representasi komunitas gay.
Kembali mengenai keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tadi, melalui keputusan yang sangat bersejarah yang dibuat pada tanggal 26 Juni 2015 ini Amerika Serikat dicatat CNN sebagai negara ke-21 yang melegalkan pernikahan sesama jenis secara nasional. Sudah kita ketahui bersama bahwa Amerika Serikat merupakan negara liberal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan regulasi ini disahkan sebagai dukungan terhadap dijunjungnya hak asasi manusia itu. Reuters menulis bahwa melalui sebuah survey terkemuka bahwa 57% warga Amerika Serikat mendukung disahkannya peraturan yang mendukung pernikahan sesama jenis ini. Keputusan ini dianggap sebagai bagian dari sejarah baru bagi Amerika Serikat bagi separuh lebih warga yang mendukungnya, termasuk sang presiden, Barrack Obama. Melalui Twitternya, Obama menulis pada 26 Juni 2015 bahwa hari itu merupakan hari di mana Amerika Serikat telah mengambil langkah besar di dalam perjuangan mencapai kesetaraan. Hillary Clinton juga menulis di Facebook-nya, bahwa ia bangga dapat merayakan kemenangan bersejarah dalam kebebasan hak asasi manusia itu. Bahkan, akun Twitter White House – yang menjadi representasi kuat dari pemerintahan Amerika Serikat memajang gambar profil warna pelangi.
Jadi, 26 Juni 2015 akan menjadi tanggal bersejarah yang akan diperingati sebagai salah satu waktu dijunjungnya hak asasi manusia di Amerika Serikat di masa-masa yang akan datang. Namun, sebelumnya pernah ada satu waktu yang telah diingat sebagai tanggal bersejarah di mana hak asasi manusia yang lebih mendasar pernah dijunjung. Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat memperjuangkan dan berhasil menghapus perbudakan di Amerika Serikat. Seorang presiden yang takut akan Tuhan ini menyadari betul peran Tuhan di dalam setiap kejadian yang terjadi dan selalu berusaha melakukan kehendak Tuhan bagi negara yang ia pimpin. Lincoln pernah berkata ‘yang menjadi tujuan saya adalah bukan agar Tuhan berada di pihak saya, tetapi agar saya berada di pihak Tuhan, karena Tuhan selalu benar’. Ia tahu bahwa keputusan dan perjuangan bagi negaranya bukanlah sebuah keinginan pribadinya yang ia ingin dibenarkan Tuhan, tapi ia ingin mau tahu apa kehendak Tuhan dan bersama Tuhan menjadi alatNya untuk mengimplementasikannya di negara yang ia pimpin, karena ia yakin dengan itu keputusannya tidak akan salah, karena ia tahu Tuhan selalu benar. Saya rasa, momen inilah yang seharusnya tetap diperingati sebagai hari di mana hak asasi manusia dijunjung tinggi, kebebasan hak asasi untuk hidup tanpa kekangan manusia lain yang benar di hadapan Tuhan, bukan 26 Juni lalu yang merupakan suatu kehormatan kepada hak asasi manusia yang melampaui perintah Tuhan.
Mungkin sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat ini merupakan sesuatu yang penting untuk saya tulis? Bukankah Amerika Serikat berjarak 14 jam penerbangan dari Indonesia? Apa hubungannya dengan kita? Mengapa membahas Amerika Serikat yang menjadi negara ke-21 yang melegalkan pernikahan sesama jenis ini dan tidak membahas 20 negara sebelumnya yang telah melegalkannya lebih dulu? Bagaimanapun juga, Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang menjadi trend setter, apa yang terjadi di sana berpengaruh terhadap dunia, dan Amerika Serikat seringkali menjadi acuan untuk beberapa hal, meskipun tidak sekuat beberapa waktu yang lalu, tapi bisa saja regulasi ini memicu pelegalan sejenis di bagian dunia lainnya. Melalui regulasi ini berarti kini warga Amerika Serikat memiliki pilihan untuk menikah dengan lawan jenis atau sesama jenis, dan itu wajar dan benar di hadapan hukum. Satu hal yang juga kita perlu ingat, Amerika Serikat adalah negara Kristen terbesar di dunia, yang seharusnya menjadi yang terdepan dalam mengusahakan kebenaran Kristen itu menjadi bagian dari regulasinya. Selain itu, bisa kita bayangkan bagaimana usaha gereja-gereja dan hamba Tuhan di Amerika Serikat yang taat kepada kebenaran firman Tuhan untuk tetap memegang kebenaran, dan resiko mereka untuk dikucilkan sebagai orang-orang yang dianggap tidak membela hak asasi manusia ketika mereka menolak memberkati pernikahan sesama jenis.
Pembahasan mengenai legaliasi pernikahan sesama jenis dalam ranah Alkitab mungkin lebih sering membicarakan mengenai kehendak Tuhan atas dibangunnya pernikahan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun, dalam hal ini, saya melihat adanya semacam pengingkaran janji antara manusia dengan Allah, di mana manusia melanggarnya dan menganggap perjanjian itu tidak berlaku lagi, bahkan melupakannya, dan menggantinya dengan makna lain, tetapi bagi Allah, perjanjian itu tetap berlaku. Anda ingat apa makna pelangi sesungguhnya? Anda ingat Nuh, bahtera, dan malapetaka air bah? Anda ingat Kejadian pasal 8-9? Anda percaya bahwa bagian itu bukan dongeng tapi kisah nyata? Jika Anda ingat dan tahu peristiwa Nuh dan pelangi, Anda pasti juga mengingat Kejadian 9:11-17 (terjemahan FAYH) di mana Allah berkata :
“Aku berjanji kepadamu dan keturunanmu, dan semua hewan yang kaubawa serta – yaitu segala burung, ternak, dan binatang liar – bahwa Aku tidak lagi akan mendatangkan banjir untuk membinasakan bumi. Dan inilah tanda untuk memeteraikan janji-Ku : Aku telah menaruh pelangi-Ku di awan-awan sebagai tanda perjanjianku dengan engkau dan dengan segenap isi bumi sampai pada akhir zaman. Apabila Aku mendatangkan awan-awan di atas bumi, dan pelangi itu tampak di awan-awan, maka Aku akan ingat janji-Ku kepadamu dan kepada semua makhluk hidup bahwa tidak akan terjadi lagi banjir yang membinasakan semua kehidupan. Karena Aku akan melihat pelangi itu di awan-awan dan akan ingat janji-Ku yang kekal kepada semua makhluk di atas bumi.”
Pelangi merupakan sebuah tanda perjanjian yang diberikan Tuhan saat itu, sebuah tanda dari janji bahwa Tuhan tidak akan menghukum manusia lagi dengan cara mematikan seperti itu. Pelangi itu menjadi semacam kontrak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Mengapa Tuhan memberi janji yang menjadi wujud dari pengampunan akan kesalahan, bahwa kesalahan tidak akan lagi dihukum seperti saat itu? Karena Injil kemudian mencatat, Yesus turun ke dunia untuk menebus dosa manusia, dan bagi mereka yang percaya kepadaNya, tidak ada lagi hukuman kekal dan pengampunan itu bersifat penuh. Saya melihat bahwa pelangi yang sampai hari ini masih bisa kita lihat di langit itu sebagai lambang dari pengampunan dan damai sejahtera, jaminan bahwa Allah tidak akan menghukum saya akan dosa-dosa saya, karena janji yang Allah sampaikan kepada Nuh saat itu kekal dan ditujukan kepada semua makhluk di atas bumi, termasuk kita, hari ini. Pelangi itu menjadi lambang pengampunan atas kemaksiatan yang dilakukan manusia saat itu, yang tercatat di Kejadian pasal 6.
Namun, pelangi hari ini dirayakan lebih menjadi perayaan atas kemaksiatan zaman ini, lambang ini dilupakan sebagai pengampunan Tuhan atas manusia, dan digantikan dengan keinginan daging manusia yang tak terkendali yang maunya dibela hukum dan negara, bahkan gereja. Atau mungkin lambang bahwa Allah tidak akan lagi menghukum manusia itu diteruskan menjadi ‘kalau begitu berdosa lagi saja, karena Allah tidak akan membinasakan kita’. Seolah-olah bagi mereka, pelangi itu bukan lagi pengampunan yang mendorong ke arah usaha untuk hidup kudus, tapi sebuah kebebasan tanpa batas, bahwa apa maunya saya, saya harus didukung oleh hukum dan negara, bahkan Tuhan harus mendukung apa mau saya. Ini semacam pengingkaran janji, pembatalan janji, manusia menganggap dan mengartikan pelangi itu sudah dengan cara lain, berbeda dengan perjanjian yang dilakukan di zaman Nuh itu. Jika ini merupakan sebuah perjanjian di antara dua orang yang memiliki hak sama, maka sudah batal perjanjian ini karena salah satu pihak mengingkarinya. Namun yang terjadi di sini berbeda, perjanjian ini dilakukan oleh manusia yang bisa berubah dengan Allah yang tak pernah berubah. Perjanjian ini tidak bisa cacat karena manusia mengingkarinya, karena Allah berjanji kepada manusia dan keselamatan yang diberikan kepada manusia tidak tergantung dari apakah manusia itu masih memegang janji itu atau tidak, sehingga janji Allah tetap untuk selama-lamanya.
Pelangi itu hanyalah salah satu dari janji yang dilakukan Allah dengan tokoh-tokoh utama yang tercatat di Perjanjian Lama mulai dari Adam, Nuh, Abraham, Musa, dan lain sebagainya. Namun janji Allah dengan umat manusia terbesar terjadi pada Perjanjian Baru, perjanjian itu diperbaharui, Allah memberikan pengampunan secara total untuk selamanya, karena selama Perjanjian Lama sudah terbukti bahwa melalui cara apapun manusia tetap gagal hidup kudus, dan tidak mungkin dapat hidup kudus dengan dirinya sendiri. Perenungan bagi kita adalah, bahwa dalam momen kita menerima Kristus, kita berjanji bahwa kita tidak akan lagi berbuat dosa, namun apa jadinya? Kita masih bisa berbuat dosa, meskipun kini kita tidak menyukainya lagi. Perjanjian itu sebenarnya dianggap gagal jika kasih Allah tidak tetap, tapi kita tahu bahwa meskipun kita mengingkari janji kita untuk hidup kudus, janji Allah kepada kita untuk kita memiliki hidup kekal itu pasti dan tidak akan diingkari.
Saya yakin Anda bukan gay, dan Anda tidak menganggap pelangi yang adalah janji Tuhan itu sebagai lambang dari kebebasan hak asasi manusia bagi Anda. Tetapi, berapa banyak pengingkaran janji yang telah kita lakukan kepada Allah ketika kita melakukan dosa dan gagal hidup kudus di hadapan Tuhan? Ingatlah janji Tuhan bahwa kita hidup kekal itu sudah berjalan dan tidak akan pernah dicabut. Kalau begitu, apakah layak kita masih terus-terusan berbuat dosa? Terus-terusan mengingkari janji untuk tidak mengulang dosa itu lagi? Betapa memalukannya kita di hadapan Tuhan, ketika kita mengambil surat kontrak salinan milik kita itu dan merobek-robeknya? Tak puas hanya sekali, kita berdosa lagi dan merobek lagi robekan itu? Lalu berdosa dan merobek robekan dari robekan itu hingga pada akhirnya salinan perjanjian itu tak bisa lagi dibaca? Betapa seharusnya perjanjian itu tidak berlaku lagi karena kita sudah merusaknya menjadi robekan sangat kecil yang mustahil untuk dirangkai ulang? Tapi Allah di hadapan kita masih memegang dengan sangat rapi surat perjanjian satunya yang ada di pihakNya, Ia terus menunjukkan surat perjanjian itu kepada kita ketika kita memohon ampun atas dosa kita dalam doa kita, surat perjanjian yang abadi, jaminan hidup kekal, yang tak mungkin diingkariNya.
Saya tidak tahu, dan tentunya tidak dapat memastikan, dan bahkan menurut saya sebenarnya tidak ada hubungannya antara lambang pelangi yang digunakan kaum gay saat ini dengan lambang pelangi yang diberikan Tuhan saat itu. Tetapi ini menjadi pengingat bagi kita, lambang pelangi itu tetap berarti sama seperti apa yang Allah firmankan, dan bukan yang diingkari oleh manusia saat ini, dan jangan sampai kita terus-terusan mengingkari janji abadi itu, karena hidup kudus adalah perjuangan. Saya juga terus berjuang untuk hidup kudus bersama Tuhan, berusaha agar robekan itu tidak terlalu kecil untuk bisa saya baca dan ingat lagi.
-Apolos Anggara Sindhunata-